#9STEPS

Ini adalah tempat untuk belajar melangkah. Menurutku, setidaknya ada sembilan langkah sebelum menyerah. Dan setiap langkah ada yang menuntun. Ada dzat yang maha mengetahui, dan diriNya tak akan menuntun ke jalan yang salah. Bukankah Dia sudah berjanji?

Mengapa kau tak sabar untuk menunggu hingga langkah ke sembilan?

#Archives


#Latest


#keywords


#CONTACT

Silahkan isi form dibawah ini!
Nama:

E-mail:

Pesan:

Atau hubungi saya di:
#fb #twitter #askfm #youtube
Friday, February 10, 2012 | 5:13 PM
Mahasiswa sebagai agen perubahan dan kaum yang memiliki sifat kepeloporan sudah semestinya kreatif dan taktis dalam memerankan perannya. Cara-cara mainstream, tradisional, lama dan belum memiliki dampak yang jelas harus ditinggalkan. Alternatif-alternatif baru mesti dimunculkan, gagasan-gagasan segar harus dituangkan melalui wadah-wadah yang kreatif. Saya pikir, salah satu yang pas dan bisa diupayakan yakni dengan memberdayakan kembali pers mahasiswa. Memang pers mahasiswa bukan persoalan yang baru, pada awal kemerdekaan muncul Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI), Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI), yang juga melahirkan Kode Jurnalisme Mahasiswa. Pers mahasiswa saat itu diarahkan untuk menjadi agen penggerak revolusi bangsa. Presiden Soekarno sebagai pemimpin kekuasaan saat itu memberi kebebasan penuh kepada mereka untuk menyuarakan segala pemberitaan. Namun, kebebasan yang tak dibatasi tersebut menjadi bumerang bagi rezim yang sedang ia pimpin.

Dalam era peralihan Soekarno-Soeharto, pers mahasiswa dihadapkan pada suatu gejolak yang sangat besar. Pada jaman tersebut pers mahasiswa dihadapkan dengan kondisi sosial politik yang sangat membingungkan. Aksi-aksi proganda bercecer dimana-mana, tiap isu yang dimunculkan berujung ketidakpastian atapun kepalsuan. Puncaknya yakni pada gerakan 30 September yang artinya sisi kemanusian para subyek yang menaungi pers juga dipertaruhkan. Disatu sisi mereka tak bisa berbuat banyak untuk ambil sikap, disisi lain pers mahasiswa juga harus bersatu padu dengan berbagai pihak untuk membangun stabilitas politik regional.

Era kepemimpinan Soeharto yang dianggap akan membawa pembaruan bagi pers mahasiswa, namun kenyataan pahit yang dihadapkan. Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan No.146/KEP/MENPEN/1975 tentang pelarangan pers mahasiswa melakukan kegiatan politik praktis. Aturan tersebut memaksa mereka kembali berkutat dengan pemberitaan seputar kampus dan tunduk pada birokrasi universitas. Mereka tunduk karena setiap pers mahasiswa tidak akan diberi surat izin terbit jika menyimpang. Disaat yang sama, pers dijadikan pemerintah orba sebagai alat untuk menanamkan benih-benih kekuasaan. Kode etik Pers yang agung telah ditinggalkan untuk kepentingan legitimasi kekuasaan. Setiap kata yang keluar dari surat kabar akan diseleksi dan jika dianggap tidak sesuai maka harus dihilangkan. Pemberitaan diatur sedemikian rupa, wacana yang dilempar sekadar basa-basi. Hal yang dianggap berbahaya bagi penguasa dipinggirkan dan dibungkam. Pasca awal reformasi 1998, pers mahasiswa di Indonesia mengalami fragentasi orientasi secara besar-besaran. Tiap pers mahasiswa memiliki ideologi yang berbeda dan hal tersebut semakin diperparah dengan pecahnya PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Artinya, tidak ada pemersatu orientasi tiap pers mahasiswa. Memang sangat sulit untuk menyatukan suatu kelompok dalam era demokerasi ini. Kondisi yang membebaskan setiap orang untuk memproduksi informasi pada akhirnya membuka ruang untuk beberapa orang yang merindukan keberadaan ruang-ruang perjuangan yang idealis. Terus bagaimana kondisi hari ini?

Read more »

Labels: , ,