#9STEPS

Ini adalah tempat untuk belajar melangkah. Menurutku, setidaknya ada sembilan langkah sebelum menyerah. Dan setiap langkah ada yang menuntun. Ada dzat yang maha mengetahui, dan diriNya tak akan menuntun ke jalan yang salah. Bukankah Dia sudah berjanji?

Mengapa kau tak sabar untuk menunggu hingga langkah ke sembilan?

#Archives


#Latest


#keywords


#CONTACT

Silahkan isi form dibawah ini!
Nama:

E-mail:

Pesan:

Atau hubungi saya di:
#fb #twitter #askfm #youtube
Friday, April 27, 2012 | 5:20 PM
Aku makin yakin jika kematian tak menjadi keresahan. Ia bukan suatu hal yang menakutkan. Tapi, segala kejadian pasca kematian adalah hal yang benar-benar menakutkan. Aku pernah melempar segelintir pertanyaan, bagaimana aku bisa tau setiap kejadian pasca kematian? bagaimana aku bisa memastikan bahwa pasca kematian adalah sesuatu yang tak membosankan? bagaimana aku bisa yakin jika pasca kematian aku akan terbebas dari belenggu dan penindasan oleh keadaan?.

Aku percaya, aku tak pernah bisa menemukan kumpulan jawaban. Segala hal tentang kematian tak bisa dijelaskan. Jika memang ada, itu hanya buah interpretasi manusia. Aku percaya setiap makhluk diciptakan. Aku percaya setiap makhluk yang hidup tentu akan mati. Aku percaya nasib juga akan membawa kita menuju kematian. Aku juga yakin, nasib selalu memberikan sesuatu yang diluar pikiran. Namun, nasib selalu memberikan kepercayaan dan kepastian yang muram. Di dalamnya ada segala perkiraan hanya sekedar omong kosong yang susah dipahami bahasa.

Aku makin yakin jika kematian bukan hal yang membuat kita ragu dan takut. Ketiadaan, kekosongan, kesunyian dan keberadaan yang hilang itu yang membuatku membenci kematian. Kebiasaan yang membuat kita ada, membuat kita nyaman, tiba-tiba terengut lalu hilang. Kebiasaan yang selalu kita ceritakan, tiba-tiba musnah. Aku yakin pasti akan muncul sebuah kemarahan dan kebencian. Aku yakin pasti akan muncul sebuah kata yang bisa menjadi penyejuk atas keresahan ini. Ikhlas.

Ah, aku juga tak percaya dengan kata ikhlas. Ikhlas hanyalah gincu dari kata-kata motivasi yang miskin makna. Aku tak pernah mampu menjelaskan tentang makna keikhlasan. Tidak pernah ada keikhlasan. Tak pernah ada kerelaan. Mereka yang tak mampu memberi juga tak akan mampu kehilangan. Setiap kehilangan mengajarkan kita untuk merelakan dengan terpaksa, sementara saat kita memberi kita dipaksa untuk ikhlas merelakan.

Labels: ,


Friday, March 9, 2012 | 12:29 PM
Berbicara soal Tuhan memang cukup menggelitik otak saya. Terkadang pemikiran ekstrem muncul begitu saja di tengah malam ataupun sepanjang hari. Sekitar sepuluh tahun silam, saya sering bertanya kepada diri saya sendiri, apakah Tuhan memang benar-benar ada? Pertanyaan tersebut muncul ibaratnya sebuah pohon yang memiliki buah yang lebat. Tiap harinya buah selalu bertambah dan menarik siapa saja yang lewat untuk memetiknya. Pohon keraguan itu tumbuh subur dan tak bisa saya cabut atau robohkan. Pohon tersebut menghasilkan ranting yang mungkin sebaiknya saya bendung. Buahnya makin lama membingungkan, Sementara akarnya menancap semakin dalam. Mungkin rentetan pergolakan itu harus saya akhiri. Ya pohon itu pada akhirnya memang harus ditebang. Biar tidak keterusan, katanya.

Saya juga berpikir dan mencoba melihat sebab muasal keraguan tersebut. Apakah disebabkan karena persoalan filosofis, atau adanya pengaruh dari beberapa buku yang saya baca, atau adanya ketidakpuasan jawaban yang saya peroleh ketika bertanya Tuhan lewat agama. Tapi saya pikir,  hal ini lebih diakibatkan rasa kecewa saya: Bagaimana mungkin Tuhan membiarkan dirinya diatasnamakan oleh mereka yang mengaku umat-Nya, demi tindakan brutal tanpa welas asih sedikit pun? Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Yahudi, Zoroaster, Pagan... semuanya pernah mengatasnamakan Tuhan demi tindakan-tindakan biadab. 

Setiap manusia yang lahir, hal yang pertama diajarkan adalah persoalan tentang Tuhan. Seorang bayi muslim yang beberapa detik sebelumnya lahir di dunia akan dikumandangkan lafadz adzan dan iqamah di masing-masing telinganya. Saya tak tahu pasti ritus kepercayaan lain sebagai padanan prosesi ini. Kemudian dengan bertambahnya umur, mereka diberikan pemahaman agama yang proporsional. Dari yang paling mudah hingga yang paling rumit. Dari persoalan yang menyangkut tata cara hingga beberapa pandangan yang mendebat tata cara. Dari hal yang harus dilakukan hingga hal yang jika dilakukan akan menambah pahala. Ya, semua itu memang berbicara tentang Tuhan. 


Read more »

Labels: ,


Friday, February 10, 2012 | 5:13 PM
Mahasiswa sebagai agen perubahan dan kaum yang memiliki sifat kepeloporan sudah semestinya kreatif dan taktis dalam memerankan perannya. Cara-cara mainstream, tradisional, lama dan belum memiliki dampak yang jelas harus ditinggalkan. Alternatif-alternatif baru mesti dimunculkan, gagasan-gagasan segar harus dituangkan melalui wadah-wadah yang kreatif. Saya pikir, salah satu yang pas dan bisa diupayakan yakni dengan memberdayakan kembali pers mahasiswa. Memang pers mahasiswa bukan persoalan yang baru, pada awal kemerdekaan muncul Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI), Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI), yang juga melahirkan Kode Jurnalisme Mahasiswa. Pers mahasiswa saat itu diarahkan untuk menjadi agen penggerak revolusi bangsa. Presiden Soekarno sebagai pemimpin kekuasaan saat itu memberi kebebasan penuh kepada mereka untuk menyuarakan segala pemberitaan. Namun, kebebasan yang tak dibatasi tersebut menjadi bumerang bagi rezim yang sedang ia pimpin.

Dalam era peralihan Soekarno-Soeharto, pers mahasiswa dihadapkan pada suatu gejolak yang sangat besar. Pada jaman tersebut pers mahasiswa dihadapkan dengan kondisi sosial politik yang sangat membingungkan. Aksi-aksi proganda bercecer dimana-mana, tiap isu yang dimunculkan berujung ketidakpastian atapun kepalsuan. Puncaknya yakni pada gerakan 30 September yang artinya sisi kemanusian para subyek yang menaungi pers juga dipertaruhkan. Disatu sisi mereka tak bisa berbuat banyak untuk ambil sikap, disisi lain pers mahasiswa juga harus bersatu padu dengan berbagai pihak untuk membangun stabilitas politik regional.

Era kepemimpinan Soeharto yang dianggap akan membawa pembaruan bagi pers mahasiswa, namun kenyataan pahit yang dihadapkan. Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan No.146/KEP/MENPEN/1975 tentang pelarangan pers mahasiswa melakukan kegiatan politik praktis. Aturan tersebut memaksa mereka kembali berkutat dengan pemberitaan seputar kampus dan tunduk pada birokrasi universitas. Mereka tunduk karena setiap pers mahasiswa tidak akan diberi surat izin terbit jika menyimpang. Disaat yang sama, pers dijadikan pemerintah orba sebagai alat untuk menanamkan benih-benih kekuasaan. Kode etik Pers yang agung telah ditinggalkan untuk kepentingan legitimasi kekuasaan. Setiap kata yang keluar dari surat kabar akan diseleksi dan jika dianggap tidak sesuai maka harus dihilangkan. Pemberitaan diatur sedemikian rupa, wacana yang dilempar sekadar basa-basi. Hal yang dianggap berbahaya bagi penguasa dipinggirkan dan dibungkam. Pasca awal reformasi 1998, pers mahasiswa di Indonesia mengalami fragentasi orientasi secara besar-besaran. Tiap pers mahasiswa memiliki ideologi yang berbeda dan hal tersebut semakin diperparah dengan pecahnya PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Artinya, tidak ada pemersatu orientasi tiap pers mahasiswa. Memang sangat sulit untuk menyatukan suatu kelompok dalam era demokerasi ini. Kondisi yang membebaskan setiap orang untuk memproduksi informasi pada akhirnya membuka ruang untuk beberapa orang yang merindukan keberadaan ruang-ruang perjuangan yang idealis. Terus bagaimana kondisi hari ini?

Read more »

Labels: , ,