#9STEPS

Ini adalah tempat untuk belajar melangkah. Menurutku, setidaknya ada sembilan langkah sebelum menyerah. Dan setiap langkah ada yang menuntun. Ada dzat yang maha mengetahui, dan diriNya tak akan menuntun ke jalan yang salah. Bukankah Dia sudah berjanji?

Mengapa kau tak sabar untuk menunggu hingga langkah ke sembilan?

#Archives


#Latest


#keywords


#CONTACT

Silahkan isi form dibawah ini!
Nama:

E-mail:

Pesan:

Atau hubungi saya di:
#fb #twitter #askfm #youtube
Saturday, October 15, 2011 | 1:13 PM
Banyuwangi dibangun dari pesona keluhuran manusianya. Ia dibangun berdasarkan keluhuran budi dan khazanah budaya yang melekat ratusan tahun lalu hingga sekarang. Sehingga Banyuwangi tak hanya menjadi objek geografis namun menjadi suatu hal yang mendarah daging dan telah menjadi jati diri. Di sini keberadaan seni budaya memainkan peran sentral sebagai pembentuk dan transformasi diri dari sebuah individu tunggal menjadi kelompok masyarakat yang plural namun khas. Sulit untuk kemudian melepaskan manusia Banyuwangi dari identitas kebudayaan mereka. Dan itu yang saya rasakan, dan mungkin kalian juga akan paham.

Saya yakin bahwa, setiap manusia yang lahir di tanah Banyuwangi memiliki pemahaman yang berbeda tentang Kebudayaan. Kebudayaan bukanlah hal yang menjadi kebanggan dan primordial semu semata. Namun jauh lebih dari itu, Kebudayaan adalah sebuah sarana untuk menjadi manusia dan terus menjadi manusia.

Novi Anoegrajekti, Dosen Luar Biasa Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, mengatakan bahwa setiap Kesenian dan tradisi Banyuwangi bertumpu atas dasar tata nilai lokal yang dikandungnya dan selalu berhadapan dengan tuntutan-tuntutan baru. Tuntutan baru tadi tak hanya lahir dari masyarakat luar Banyuwangi ataupun dari polemik yang terjadi di internal masyarakat Banyuwangi, tetapi ia lahir dari generasi yang tumbuh dan berkembang dengan bauran teknologi asing. Hal ini bukan saja berpotensi bisa melumpuhkan kebudayaan namun juga bisa melibas keberadaan identitas budaya masyarakat yang ada apabila kebudayaan itu tak mampu berkembang dan mematutkan diri.

Yang saya lihat, Seni dan kebudayaan Banyuwangi selalu berdampingan dan tak pernah saling melemahkan. Dalam makalahnya Novie Anoegrajeki memastikan bahwa kesenian yang lahir dari masyarakat perlu mempertimbangkan elemen survival dari segi ekonomi. Hal tersebut yang akan menentukan apakah kesenian tersebut berpeluang hidup atau tidak di masa-masa mendatang. Banyuwangi juga sudah teruji dengan masih lestarinya kesenian Gandrung. Sejarah gandrung yang panjang menyisakan catatan bahwa kesenian milik komunitas Using ini selalu berhadapan dengan kekuatan kekuatan di luar dirinya.

Gandrung adalah satu dari sekian banyak karya manusia-manusia Banyuwangi. Karya lain seperti kain batik khas bermotif Gajah Oling yang lahir sebagai upaya akulturasi citarasa unik dan pemaknaan terhadap lingkungannya. Ia, menurut Bupati Abdullah Azwar Anas sebagai local genius yang mampu bercerita tentang banyak hal, mulai dari fashion, tradisi, hingga gaya hidup. Ia tidak hanya merupakan karya unik yang bernilai estetik namun juga memiliki nilai ekonomis yang bisa menjadi penanda langsung dari masyarakatnya.

Lantas apakah sekian banyak kesenian itu hanya merupakan perayaan kosong belaka? Tentu tidak. Anda bisa datang langsung (kalo mau saya temenin) dan melihat sendiri bahwa manusia-manusia Banyuwangi adalah individu dengan kebanggaan tinggi akan identitas kulturalnya. Dari tukang Bakso, Kepala Desa, Bupati, hingga Para Kyai pun meyakini hal yang sama. Sebuah fenomena yang menarik dan membuat anda berpikir bahwa inilah sebenernya Kebudayaan, Peradaban dan Kehidupan. Realitas demikian benar-benar ada. Anda tentu harus tahu bahwa Album-album lagu Using (Using adalah suku Asli Banyuwangi) bertebaran, coba cek saja toko kaset CD diemperan Jawa Timur. Lagu Using dinyanyikan dan dirayakan sebagai lagu keseharian. Pemandangan yang sangat kontras akan anda lihat di daerah lainnya dimana kaum muda justru lari tunggang langgang menolak jati dirinya. Sementara pemuda-pemudi Banyuwangi justru merengkuh dan mengamininya sebagai hidup. Demikian juga saya :) 

Para tamu dan pendatang di kota ini akan ditunjukan sebuah teater hidup dari masyarakatnya. Manusia-manusia Banyuwangi tak mengenal basa basi dalam berinteraksi. Mereka adalah apa yang mereka tunjukan. Anda akan mendengar teriakan-teriakan, beberapa umpatan, atau bahkan dialog yang keras (ya seperti saya). Tapi ia bukan mencirikan manusia-manusia Banyuwangi sebagai mahluk yang barbar dan tak punya kebudayaan. Mereka adalah mahluk ekspresif yang tegak dengan jati dirinya sendiri.

Idiom lare using bukan ditunjukan sebagai upaya pemisahan dan segregasi rasial dengan masyarakat yang lain. Tidak. Lare Using lahir dari pemaknaan bahwa kemana pun manusia-manusia Banyuwangi pergi, jangan pernah lupa akan akar dan rumah dimana kamu dilahirkan. Apakah hal ini kemudian menjadikan Banyuwangi sebagai kota yang ekslusif? Tentu saja tidak. Jika anda mampir ke daerah-daerah dimana kebudayaan berkembang seperti Muncar, Genteng dan lainya anda akan menemukan masyarakat-masyarakat plural yang berasal dari komunitas lain di nusantara. 

Ada Suku Madura, Suku Jawa, Suku Bali, Suku Bugis dan Suku Using yang kemudian membentuk wajah Banyuwangi menjadi apa yang ada hari ini. Ia adalah satu mangkuk masyarakat yang tidak tunggal alias majemuk. Ia melahirkan manusia-manusia yang menolak tunduk pada gegas zaman. Di sini anda akan melihat dan menikmati bagaimana seni budaya dirayakan bukan hanya sekedar ritus. Tapi sebagai sebuah pengakuan. Bahwa Banyuwangi bukanlah kota biasa. Ia adalah kota yang lahir dan berkembang dari rahim manusia-manusia unik di dalamnya.

Oke! Saya tak pernah ingin dilahirkan menjadi bagian dari Banyuwangi, tapi jika saya terpaksa harus dilahirkan kembali, saya juga pasti akan memaksa untuk dilahirkan di Banyuwangi.

Terakhir, izinkan Saya untuk mengatakan, Saya cinta Banyuwangi dan seluk beluknya...

Labels:


1 KOMENTAR:

Blogger Iwan Cony Setiadi:
October 15, 2014 at 9:55 PM  

aaaaa


Post a Comment