Sunday, January 15, 2012 | 5:07 PM
Keterbukaan media, pasca reformasi melahirkan stigma bahwa mahasiswa dihadapkan dengan dua pilihan yang tak enak.Sadar atau tak sadar mahasiswa Indonesia ditempatkan dalam masalah antara untuk memilih menjadi 'professionalism' dan 'activism'. Golongan pertama akan melahirkan mahasiswa yang hanya berkecimpung dalam kegiatan intra-kulikuler seperti kuliah, praktikum, riset, lomba, dan apatis sekali dalam persoalan yang dihadapi masyarakat yang memang sangat butuh uluran tangan mahasiswa. Tipe ini hampir ditemui diberbagai kampus besar di Indonesia (cerita kawan) di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan paling fenomenal tentu di Jawa. Tipe 'pelajar di kampus' ini tentu sangat berbeda dengan tipe kedua yakni mahasiswa yang menempatkan peranan sosial politik yang melekat padanya dan menganggap predikat tersebut adalah penting. Mereka terlibat aktif dalam masalah-masalah strategi politik, baik strategi permainan power (kuasai struktural) ataupun strategi moderenisasi secara kultural. Jumlah yang hanya sedikit dan selalu hadirnya dalam forum menisbatkan diri mereka menjadi 'politisi kampus'. Mungkin gambaran pemimpin-pemimpin mahasiswa pada 4 tahun (selama saya kuliah) ini memang demikian.
Saya pikir, sebenarnya mahasiswa sadar dan didera hatinya oleh persoalan masyarakat namun mereka masih belum cukup puas terhadap respon yang datang dari pihak kampus. Sikap-sikap kepoloporan, pengabdian dan ide-ide segar cenderung mereka temukan di luar perguruan tinggi tempat mereka ditempa. Mereka justru malah mendapat banyak pelajaran pada ruang-ruang diskusi, komunitas kreatif, himpuan mahasiswa ekstra, ataupun gerakan-gerakan yang melibatkan pemuda nasional. Dan mungkin kita bertanya apa yang terjadi hari ini? kok bisa gini?
Saya pikir memang benar jika kemelut yang terjadi hari ini juga hasil andil dari 3 sektor yang disebutkan oleh Wahib yakni internal perguruan tinggi, internal mahasiswa, dan masyarakat. Ketiganya memang menjadi pokok bahasan yang menarik untuk mewujudkan tujuan adiluhung pendidikan Indonesia. Namun saya hanya akan membahas yang kedua yakni soal internal mahasiswa. Bagaimana dunia internal mahasiswa Indonesia hari ini?
Saya pikir hal yang paling tabu dan harus diungkapkan adalah krisis Identitas, sehingga mereka kurang greget dalam berkontribusi ataupun memaparkan gagasan-gagasan mereka. Fenomena yang terjadi sekarang adalah adanya ketidak percayaan terhadap kemampuan diri sendiri yang membuatnya kerap minder dalam setiap forum, jangankan pada forum dalam kelas perkuliahan saja fenomena ini terjadi. Tidak hanya itu, krisis identitas ternyata memiliki imbas yang mengkhawatirkan yakni terhadap pemikiran mahasiswa itu sendiri dalam hal independensi dan menentukan pilihan. Jiwa merdeka jauh dari mereka sehingga banyak organisasi-organisasi mahasiswa dan personil-personil mahasiswa sejak awalnya telah terbelit dalam jaringan partai politik atau kekuasaan yang sedang memerintah. Kehidupan mahasiswa kemudian menjadi obyek atau daerah operasi yang tidak sehat dari kekuatan-kekuatan di luarnya dengan memakai tangan-tangan yang di dalam. Kalau di kalangan pimpinan universitas (rektor, senat, dekan dsb) sering ada campur tangan dan pesanan dari luar, maka dalam dunia mahasiswa juga demikian.
Dengan masyarakat, hubungan mahasiswa juga belum menemui satu titik pengertian dan kesepahaman. Masyarakat masih menganggap mahasiswa merupakan kumpuluan manusia super yang bisa menjadi solusi dari setiap masalah. Pandangan ini, saya pikir tidak realistis dan justru menambah beban mahasiswa dalam menjalankan tujuannya dan kerap berujung kekecewaan. Sebagian orang mengajukan tuntutan pada mahasiswa seolah-olah kelompok mahasiswa itu kelompok team ahli.
Melihat kenyataan-kenyataan di atas kita tak perlu pesimis. Ada nyala-nyala kecil yang mulai berpendar di kalangan intelektual dan mahasiswa Indonesia. Prospek terang membikin kita optimis, meskipun Cuma nyala nyala kecil yang berupa:
1. Sikap akan kesadaran peran dan tugas mahasiswa telah berkembang dan menunjukkan hal yang positif.
2. Sikap semata-mata committed terhadap ide mulai tumbuh subur walaupun dalam taraf sangat permulaan. Sikap ini sebagian akan membantu timbulnya sikap-sikap prinsipal di semua potensi mahasiswa sehingga betul-betul merupakan 'moral force' yang berwibawa.
3. Sudah mulai berani mengadakan reevaluasi terhadap langkah yang pernah dijalankan. Autokritik di kalangan mahasiswa Indonesia sudah mulai, dan ini merupakan basis yang sangat kuat untuk langkah-langkah maju selanjutnya.
4. Beberapa kelompok mahasiswa dengan pasti telah merintis tradisi kepeloporan dengan meningkatkan sensitiftas terhadap persoalan masyarakatnya.
5. Munculnya sebuah kondisi dinamis dalam tiap organisasi mahasiswa sehingga mahasiswa makin peka terhadap masalah serta sudut pandang dalam mencari solusi juga makin berwarna.
6. Adanya proses kaderisasi yang sehat dan sesuai porsi dan tempatnya yang selalu diperbaiki tiap tahun untuk menghadapi dinamisasi yang muncul dari internal ataupun eksternal mahasiswa.
Saya yakin, sejarah akan berulang. Sejarah memang telah memperlihatkan, dalam perubahan-perubahan sosial, universitas dan para mahasiswa selalu memberikan andil yang tidak kecil. Demikianlah.
Labels: Mahasiswa, Nasional, Pergerakan
0 KOMENTAR:
|Older Post|
 
|Newer Post|
Post a Comment